Tak pernah kurancang sebelumnya, aku berbincang-bincang dengannya. Terjadi begitu saja dan mengalir begitu enak. Kebetulan waktu itu aku mampir di ruang kerjanya. Yah ... sekedar to say hello. Tanpa maksud apapun. Tiba-tiba ia tertarik dengan tulisan pada kaos yang kukenakan, bergambar kursi dengan salah satu kakinya bergambar manusia. “TUMBAL. Bukan rakyat yang menghendaki dirinya menjadi dan dijadikan ‘TUMBAL’, tetapi ada si penguasa kejam yang dengan kekuasaannya menjadikan rakyat sebagai ‘TUMBAL’. Sambil berkelakar, ia menaggapi tulisan itu. “Aku pun menjadi TUMBAL!” sahutnya. “Menjadi TUMBAL karena aku melayani para romo dan frater ...,” sambungnya lagi sambil tersenyum-senyum. Karena aku menangkap ini hanya kelakar, aku bilang begini, “Kok mau dijadikan TUMBAL?” “Supaya aku dapat pahala’” jawabnya. “Pahala itu datangnya dari Tuhan bukan dari romo atau frater,” tanggapanku. “Kalau begitu Frater dapat buat apa untuk diriku?” tanyanya menyelidik. “Aku mendoakan kamu!” jawabku suci, mantap tapi sebenarnya bingung harus jawab apa dan mungkin hanya pembelaan diri saja: masak frater nggak doakan teman-temannya atau orang lain, apalagi yang ada disekitarnya. “Apa yang frater doakan untukku?” tanyanya lagi. Nah lho, kena batunya sekarang. Kujawab apa ya...?! Setelah menarik nafas agak panjang (tanda nggak siap menjawab pertanyaan itu), dengan mantap lagi aku jawab begini, “Aku doakan supaya kamu sehat-sehat aja, hidupmu bahagia, tenang dan ... (pokoknya kelihatan yang baik-baik dan bisa membuat hatinya merasa didukung).” “Bukan, bukan itu. Itu tidak tepat!” tolaknya sambil menggerakkan tangan tanda tak setuju. “Lalu apa yang perlu kudoakan untukmu?” tanyaku. “Itu semua tadi sudah Tuhan berikan. Jangan menuntut Tuhan lagi. Sudah cukup. Aku ingin didoakan agar aku sakit ...,” jawabnya. Weleh?! Sebelum aku berkomentar lagi, ia beranjak dari tempat duduknya dan mencari sebuah buku. Lalu ditunjukkannya sebuah doa dari buku itu. Aku diminta untuk membacanya.
“Saya memohon kesehatan agar saya bisa mencapai prestasi,
Tuhan memberiku kelemahan agar saya menurut.
Saya memohon kekayaan agar saya bahagia;
Tuhan memberi saya kemiskinan agar saya bijaksana.
Saya memohon kekuatan untuk melakukan hal-hal besar,
Tuhan memberi saya kerentaan
agar saya bisa melakukan hal-hal yang lebih baik.
Saya memohon kekuasaan agar saya mendapat pujian orang,
Tuhan memberi saya kelemahan
agar saya bisa merasakan kebutuhan akan Tuhan.
Saya memohon segala hal agar saya bisa menikmati hidup,
Tuhan memberi saya kehidupan agar saya menikmati segala hal.
Saya tidak menerima apapun yang saya mohonkan,
Tapi lebih dari yang saya harapkan:
Doa-doa saya dijawab.
(Bruno Hagspiel)
Aku diam. Cukup lama. Hatiku seperti disentil. Aku menatapnya ... Dia tersenyum dan menganggukan kepala. Aku permisi setelah berterima kasih atas perjumpaan singkat namun sarat makna. Ku-foto copy teks doa itu dan kutempel di dinding kamarku untuk kudoakan selalu. Terima kasih sobat. Engkau telah mengajari aku apa artinya berdoa.
Source: Diary (March 2001)
No comments:
Post a Comment