Thursday, May 8, 2008

Pojok Bangjo - Traffic Lights

MUSLIMIN. Begitulah dia dipanggil. Dan memang itulah namanya. Singkat dan sederhana namun sarat makna. Temanku ini dilahirkan di kota Pontianak, yang dikenal dengan sebutan kota “Jambrut Katulistiwa”, 16 tahun lalu. Menurutnya, tak banyak kenangan masa kanak-kanak yang dapat diingatnya di kota itu. Kecuali satu hal ini: nama itu! Dia bangga menyandang nama itu. “Rasanya kok damai, ya Mas,” katanya. Ya betul. Aku setuju. Kalau kita bijak mengucapkannya, ada nuansa tenang, teduh, dan damai: Muslimin. Menurut orang-orang yang berpendidikan, nama seperti itu mempunyai nuansa religius. Wah....hebat! Tapi biarlah apapun komentar para ahli, yang jelas, dengan nama itu, dia punya impian dalam hidupnya. “Mas, aku ingin hidupku nanti jadi damai ...?!” tuturnya sambil duduk di pembatas jalan tempat mengais rejeki. Damai atau kedamaian, kukira sesuatu yang juga diinginkan oleh setiap insan khalik yang menginjak bumi ini mantap. Juga aku! Dengan berbagai cara, bentuk, dan dalam ruang rentang waktu, mereka berusaha memperolehnya. Kadang yang diperolehnya hanya yang semu - yang maya. Namun ada pula yang memperoleh, karena kesungguhannya, yang sejati - yang nyata. Tarik menarik. Berat. Namun tetap dikejar dan ingin diraih. Ya ... seperti temanku ini. Dia, paling tidak sampai saat ini, tidak pernah berhenti untuk mengejarnya.

“Mas, anak mahasiswa yang kemarin ikut aku ngamen lucu sekali,”
tawanya mengganti alur pembicaraan kami. Aku tersenyum. “Ya, bener lucu sekali. Mulai pagi saya ajak dia ngamen di sini (pertigaan lampu merah Jatikencana Yogyakarta-red). Ia malu sekali Mas dan nggak ingin ngamen. Tapi aku paksa dia untuk ngamen. Lama-lama dia jadi nggak malu lagi,” tuturnya bangga. “Wah, kamu hebat. Bisa menyandang gelar bapak pembina para pengamen baru!” sahutku. Kami tertawa! Bangjo (traffic lights) mulai berwarna merah. Beberapa kendaraan roda empat mulai berhenti. Dia beranjak meninggalkanku. Cik kicrik kicrik, cik kicrik kicrik dengan nada suara yang sayup-sayup terdengar dari tempatku duduk. Dia berpindah dari mobil satu ke mobil yang lain. Ada yang suka rela membuka kaca mobil dan memberi uang recehan. Ada yang dengan sopan menolak sambil melambaikan tangan. Ada yang acuh saja karena asyik ngobrol di dalam mobilnya. Ada yang mengajak ngobrol, seperti sopir bus atau angkutan, tanpa wajib memberi apa-apa. Ada macam-macam kendaraan. Ada macam-macam jenis atau karakter manusia. Dan dia, temanku ini, sadar - tidak sadar berjumpa dengan ragam karakter manusia ...

“Mas, naik apa?” tanyanya membuyarkan lamunanku. “Naik vespa. Itu disebelah warung makan,” jawabku sambil menunjuk ke arah warung makan di seberang jalan yang mulai ramai dikunjungi orang. “Mus, kamu pernah sekolah?” tanyaku setelah dia duduk. “Pernah Mas, sampai kelas 2 SMP,” jawabnya. “SMP mana?” tanyaku lagi. “SMP Negeri di Jayapura,” jawabnya. Mulailah ia bercerita. Menurutnya, dulu ia pernah sekolah di Sumatra. Seingatnya, dia masuk SD di sana. Lalu pindah ke tanah Jawa karena ikut orang tuanya. Sewaktu pindah ini, tepatnya di Bandung, sebenarnya dia sudah kelas 3 tapi ia harus mulai dengan kelas 2. Entah kenapa. Setelah 1 tahun di Jawa, orang tuanya ikut transmigrasi ke Irian Jaya (di daerah Jayapura). Saat itu dia sudah kelas 3 SD. Sampai di sana, entah kenapa lagi, dia harus mengulang ke kelas 2 SD terus sampai kelas 2 SMP. Lalu tahun kemarin (2000) terpaksa dia meninggalkan sekolahnya karena situasi di Jayapura katanya tidak aman. Bersama orang tuanya ia kembali ke tanah Jawa, tanah asal usulnya: Yogyakarta Sejak saat itu bersama orang tuanya dia mulai menggelandang. Mereka hidup dari memulung. Pernah tinggal di Dinas Sosial Pingit 3 bulan. Lalu sejak Januari 2001 mereka tinggal di Penampungan Sosial Pingit YSS. Sejak itu, meski menambah satu pekerjaan yakni ngamen, dia merasa agak tenang. “Mus, kamu ingin sekolah lagi nggak?” tanyaku. “Nggak Mas!” jawabnya. “Kenapa?” tanyaku lagi. “Malu Mas, sudah besar,” jawabnya. “Kalau kursus, seperti kursus bengkel?” tanyaku penasaran. “Nggak Mas, malu.....,” jawabnya berat. “Tapi Mas, nanti malam aku ikut pelajaran,” sambungnya lagi. Bangjo mulai merah lagi. Dia mulai beranjak. Aku minta pamit. Ah, belajar bisa di mana saja dan kapan saja. Niat dan punya impian. Itu kuncinya!

(Sekedar catatan: di PSP kami mengadakan kegiatan pendampingan belajar klasikal setiap hari Senin dan Kamis malam, mulai dari anak TK sampai anak SMP, bahkan ada juga yang setingkat SLTA).

Source: Diary (2001)

No comments: