Terang Bulan. Ini bukan nama makanan khas Bandung yang enak dan laris dijual. Ini adalah sebuah peristiwa dan pengalaman persahabatan: aku, temanku, dan Sang Pencipta bulan. “... Tanah di sini masih basah. Baru saja turun hujan. Sekarang jam 22.00 waktu Pnonh Penh. Saya tahu kamu di sana pasti sudah tidur. Saya sedang menatap bulan. Sendirian. Saya teringat waktu retret menjelang keberangkatan kita untuk masa orientasi kerasulan ke tempat masing-masing. Jam yang sama, kita menatap bulan bersama, lalu bercerita banyak dan juga bermimpi ... Apa di sana kamu juga menatap bulan?”. Aku tersenyum membaca untaian kata-kata temanku ini. Aku masih ingat, surat dari temanku ini kuterima pertengahan Oktober 1998. Saat itu aku sedang menjalani masa orientasi kerasulan di Nabire, Papua. Masih ada hal lain yang ia ceritakan sejauh kuingat: “... sekarang ini saya sedang belajar bahasa Khamer...wah ternyata melelahkan juga, karena mesti gonta-ganti bahasa. Kadang omong bahasa Khamer, kadang di waktu yang lain omong bahasa Inggris ...”. Dan masih banyak hal lain yang ia ceritakan tentang pengalaman awalnya di negaranya Pol Pot. Yang jelas surat yang tak terduga ini membuatku terhibur dan menambah semangat. Entah kenapa. Mungkin juga karena kisah pengalaman kerasulannya yang menantang di negara bekas korban perang tersebut senada dengan tantangan yang kuhadapi. Aku merasa diteguhkan. Ada perasaan senasib dan seperjuangan. Aku merasa satu dalam perutusan meski situasi dan tantangannya berbeda.
Lewat pengalaman sederhana ini aku sedikit merasakan makna kehadiran teman sepanggilan. Teman sepanggilan bukan hanya rekan sepekerjaan atau rekan se-proyek, tetapi lebih dari itu, ia adalah sahabat dalam Tuhan. Komunikasi yang nyatanya terjadi adalah percakapan hati dan budi, komunikasi yang jauh lebih mendalam, bukan supervisial. Dalam komunikasi macam ini, kita tidak hanya nguda rasa atau sekedar sharing pengalaman. Kita menjadi lebih manusiawi. Ada semacam sense of friendship dalam perutusan. Begitulah makna kehadiran sahabat dalam Tuhan menurut kamus spiritualitasnya Javier Osuna, seorang Jesuit Kolumbia yang mantan magister atau pembimbing para novis itu. Dan ia benar. Karena yang terpenting dari kehadiran sahabat dalam Tuhan adalah pertama-tama bukan berbagi kesuksesan atau kegagalan, tetapi entah sukses atau gagal, diterima atau ditolak, gembira atau sedih, berat atau ringan dan seterusnya, kita saling berbagi pengalaman iman. Kita saling berbagi pengalaman di mana dengan caranya yang khas pada setiap orang Tuhan menghadirkan diri dalam hidup kita. Dan karenanya panggilan kita makin diteguhkan. Sungguh kita bersyukur atas kehadiran teman-teman sepanggilan, sahabat-sahabat dalam Tuhan. Mereka hadir dalam hidup kita bukan karena kebetulan. Rencana dan sentuhan Tuhan pada karakter khas mereka memberi inspirasi hidup yang sangat berarti bagi kita.
“... sobat, aku juga menatap bulan di sini....sekarang pun aku masih tetap menatap bulan. Setiap kali aku menatap bulan dalam waktu yang cukup lama, ketahuilah, di dalam batin aku berbicara kepadamu dan kita bersama Sang Pencipta bulan itu saling berbicara, mensyukuri perjumpaan kita dan persahabatan kita dalam perutusan. Sampai jumpa di terang bulan berikut...”
Source: Diary (May 2001)
No comments:
Post a Comment