Tuesday, May 6, 2008

Trotoar

Trotoar jalan Magelang, dekat Borobudur Plaza, Yogyakarta - tengah malam. Aku duduk di situ. Di sebelah kananku, kira-kira 5 meter jaraknya, tidur sepasang kekasih beralaskan kasur padas dengan seprai penuh berita. Aku berjumpa sepasang kekasih ini tiga hari sebelumnya. Mereka masih muda belia. Bayangkan: 18 tahun! Si perempuan nampaknya sedang hamil. Menurut cerita si perempuan ini, ia lari dari rumah orang tuanya dua tahun lalu karena mau dijodohkan dengan laki-laki lain, yang tentu saja tak ia sukai. Ia nekad pergi dari rumah bersama laki-laki idamannya. Dan jadilah mereka seperti sekarang ini.

Di bagian lain, sebelah kiriku, tidur juga beberapa orang. Ada yang berpasangan. Ada yang sendirian. Entah apa kisah hidup mereka. Dengan mata telanjang aku bisa melihat betapa nyenyak tidur mereka. Mungkin karena lelah menanggung beban hidup yang amat keras. Sepinya malam dan dinginnya ubin alas tubuh mereka tampak menghilangkan rasa lelah dan beban hidup. Dalam diam batinku berbicara: bagaimana rasanya nggak punya rumah. Lama aku diam merenungkan pertanyaan itu. Tak ada jawaban. Yang muncul justru pengalaman-pengalaman masa lalu yang pernah kurajut. Sejak kehadiranku di dunia fana ini, tubuhku terlindung oleh atap dan tembok rumah. Jiwaku terpenuhi oleh kasih sayang sentuhan orang-orang dalam rumah. Ingat bapak. Ingat Ibu. Ingat saudara-saudariku dan kenalanku, juga mantan kekasihku. Ingat juga tempat berukuran cukup luas dimana aku biasa membaringkan tubuhku dengan enak mengusir kelelahan dan kepenatan hari-hari. Ditambah lagi dengan beberapa aksesoris dan sarana pendukung yang memberikan kenyamanan pada tubuh-jiwa ini.

Udara malam rasanya makin dingin saja. Muncul lagi pertanyaan ini: bagaimana rasanya tidak punya rumah?. Terus terang aku tidak bisa merasakannya. Aku beranjak dan mulai berjalan pulang. Di kejauhan beberapa penjaga pasar asik bermain kartu dan mendengarkan radio. Terdengar sayup-sayup lagu Ebiet yang akrab di telingaku:

“Isteriku, marilah kita tidur. Hari telah larut malam. Lagi sehari kita lewati. Meskipun nasib semakin tak pasti. Lihat anak kita tertidur menahankan lapar. Erat memeluk bantal dingin pinggiran jalan. Wajahnya kurus pucat matanya dalam. Isteriku marilah kita berdoa sementara biarkan lapar terlupa. Seperti yang pernah ibu ajarkan Tuhan bagi siapa saja. Meskipun kita pengemis pinggiran jalan. Doa kita pun pasti ia dengarkan. Bila kita pasrah diri, tawakal. Esok hari perjalanan kita masih sangatlah panjang. Mari tidurlah lupakan sejenak, beban derita, lepaskan …!”

Benar! Tuhan memang bagi siapa saja. Ia mendengarkan setiap doa yang datang dalam ketulusan dan kepolosan jiwa, khususnya jiwa orang kecil dan sederhana. Bukankah Ia pernah mengatakan: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang. Tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakan kepala-Nya” (Lukas 9:58). Dari kisah Injil ini diketahui dengan jelas bahwa Ia berpihak pada wong cilik: kaum miskin dan tertindas karena terbuang dari tatanan sosial masyarakatnya. Apa yang dapat kita buat? Bagaimana rasanya tidak punya rumah? Bila ingin tahu jawabannya: terlibatlah pada kehidupan mereka dan pada kehidupan Anak Manusia itu.

Source: Diary (June 2001)

No comments: