Tuhan, bila salib menimpa kami dengan hebat,
maka hancurlah kami.
Bila Engkau datang bersama salib,
Engkau memeluk kami.
Bersama teman-temannya, aku menjenguknya lagi. Aku coba pegang tangannya. Dingin. Tubuhnya bergetar karena menggigil. Aku sedikit bisa merasakan keganasan sakit malaria yang dideritanya. Aku juga pernah mengalaminya. Rupanya, ia sedang memandangku dan teman-temannnya. Ia sedikit tersenyum. “Bertha, aku dan teman-temanmu datang ke mari mau doakan kamu ya; supaya kamu cepat sembuh,” sapaku memecah kebisuan kata, karena sesungguhnya batin kami masing-masing tetap berbicara. Ia mengangguk dan menambah senyumannya. Mulailah kami berdoa. Teman-temannya berinisiatif memimpin doa. Selesai berdoa, kami berbincang dengannya dan dengan bapak-ibunya. Ketika aku mau pamit, ia sempat berpesan, “Ter, saya sudah pasrah. Tolong panggilkan Pater.......”. Aku mengangguk dan segera pulang. Teman-temannya masih tetap tinggal di
Dua hari sesudah sakramen perminyakan, ia berpulang. Berpulang dalam damai meski derita sakit dialaminya. Aku merasa kehilangan. Namun, aku pun diteguhkan oleh pengalamannya. Di usianya yang masih muda, derita atau salib tidak menghilangkan imannya, melainkan memperteguh imannya. Kepasrahan dalam senyuman dan pesannya menandakan sudah terjadinya sebuah perjumpaan intim dengan Sang Pemberi Hidup. Aku meraskannya sebagai sebuah kebahagian hidup yang tentunya diingini dan dicari setiap insan. Saat ini aku ingin mengenangnya dan kita semua juga mengenang mereka yang berpulang dalam damai meskipun derita dialaminya, dengan kata-kata Ayub ini: “Aku tahu ya Tuhan, bahwa Engkau Mahakuasa; ... dahulu pengetahuanku tentang Engkau hanya kudengar dari orang saja, tetapi sekarang kukenal Engkau dengan berhadapan muka.” (Ayub 42:1a, 5). Selamat berbahagia sobat. Ibo ini enaimo nitai (Tuhan sertamu selalu)!
Source: Diary (Juli 2001)
No comments:
Post a Comment