Wednesday, May 7, 2008

Bertha

Tuhan, bila salib menimpa kami dengan hebat,
maka hancurlah kami.
Bila Engkau datang bersama salib,
Engkau memeluk kami.

Kata-kata tersebut dari Dom Helder Camara. Ia seorang Uskup Agung Metropolis Rio de Jenerio Brasil. Camara dikenal amat dekat dalam hidup bersama orang miskin di pinggiran ibukota. Kata-katanya itu mengingatkanku pada pengalaman sakit seorang sahabat. Tak ada yang pernah menduga bahwa ia akan sakit separah itu. Tubuhnya kurus kering. Matanya cekung dan kuning. Amat sulit untuk menarik nafas; menghirup udara kehidupan. Dulu, ia orang yang sangat energik; lincah ke sana ke mari. Di sekolah ia aktif dalam berbagai kegiatan. Salah satu yang digemarinya adalah Pramuka. Ia sering menjadi dirigen koor untuk sekolahnya. Di lingkungan Gereja, ia juga aktif sebagai putera altar; termasuk yang rajin dan disiplin dalam tugas.

Bersama teman-temannya, aku menjenguknya lagi. Aku coba pegang tangannya. Dingin. Tubuhnya bergetar karena menggigil. Aku sedikit bisa merasakan keganasan sakit malaria yang dideritanya. Aku juga pernah mengalaminya. Rupanya, ia sedang memandangku dan teman-temannnya. Ia sedikit tersenyum. “Bertha, aku dan teman-temanmu datang ke mari mau doakan kamu ya; supaya kamu cepat sembuh,” sapaku memecah kebisuan kata, karena sesungguhnya batin kami masing-masing tetap berbicara. Ia mengangguk dan menambah senyumannya. Mulailah kami berdoa. Teman-temannya berinisiatif memimpin doa. Selesai berdoa, kami berbincang dengannya dan dengan bapak-ibunya. Ketika aku mau pamit, ia sempat berpesan, “Ter, saya sudah pasrah. Tolong panggilkan Pater.......”. Aku mengangguk dan segera pulang. Teman-temannya masih tetap tinggal di sana untuk menemaninya.

Dua hari sesudah sakramen perminyakan, ia berpulang. Berpulang dalam damai meski derita sakit dialaminya. Aku merasa kehilangan. Namun, aku pun diteguhkan oleh pengalamannya. Di usianya yang masih muda, derita atau salib tidak menghilangkan imannya, melainkan memperteguh imannya. Kepasrahan dalam senyuman dan pesannya menandakan sudah terjadinya sebuah perjumpaan intim dengan Sang Pemberi Hidup. Aku meraskannya sebagai sebuah kebahagian hidup yang tentunya diingini dan dicari setiap insan. Saat ini aku ingin mengenangnya dan kita semua juga mengenang mereka yang berpulang dalam damai meskipun derita dialaminya, dengan kata-kata Ayub ini: “Aku tahu ya Tuhan, bahwa Engkau Mahakuasa; ... dahulu pengetahuanku tentang Engkau hanya kudengar dari orang saja, tetapi sekarang kukenal Engkau dengan berhadapan muka.” (Ayub 42:1a, 5). Selamat berbahagia sobat. Ibo ini enaimo nitai (Tuhan sertamu selalu)!

Source: Diary (Juli 2001)

No comments: